Home Human Interest Ikan Tuna Indonesia Siap Penuhi Pasar Dunia

Ikan Tuna Indonesia Siap Penuhi Pasar Dunia

932
0

Terhitung sejak tahun 2011, Indonesia menjadi produsen ikan tuna terbesar di dunia. Data Food Agricultural Organization tahun 2016, tangkapan ikan tuna Indonesia mencapai 1,12 juta ton atau sejumlah 17 % dari tangkapan global, sebesar 6,61 juta ton.

Selain produsen terbesar, perairan Indonesia juga habitat penting bagi spesies-spesies tuna tropis. Sembilan dari 14 spesies tuna tumbuh dan berkembang di perairan Indonesia. 5 spesies diantarnya termasuk dalam principal market tuna yang diperdagangkan hingga 80 % dari tangkapan ikan tuna global. Kelima spesies tuna tersebut adalah ikan Tuna Mata Besar (Bigeye Tuna), Ikan Tuna Sirip Kuning (Yellowfin Tuna) , Ikan Tuna Albacora (Albacore), Ikan Cakalang(Skipjack Tuna) dan Ikan Tuna Sirip Biru Selatan (Southern Bluefin Tuna) .

Perairan Indonesia Habitat Penting Ikan Tuna

Berada diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan perairan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi dan potensi ekonomi yang luar biasa. Perairan Indonesia merupakan posisi yang ideal ikan tuna untuk memijah (breeding ground) dan bertelur (spawning ground).

Perairan tersebut adalah;

Laut Sulawesi. Dalam Tuna Blueprint yang diterbitkan WWF tahun 2106, perairan ini perlu dilindungi dari aktivitas penangkapan ikan tuna. Hal ini bertujuan untuk mencegah tertangkapnya juvenil tuna sehingga dapat beruaya untuk berkembang di Samudera Pasifik.

Laut Banda untuk Ikan Tuna Sirip Kuning. Informasi ini juga tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4 tahun 2015. Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa koordinat 126 – 132 BT di Laut Banda merupakan daerah pemijahan dan daerah bertelur ikan tuna sirip kuning.

Ketiga, Selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara untuk Ikan Tuna Sirip Biru Selatan, hal ini sesuai dengan penelitian Caton (1991).

Pentingnya perairan Indonesia untuk keberlanjutan sumberdaya ikan tuna tropis tentunya menjadi kekuatan Indonesia untuk memperjuangkan kuota dan kepentingan Indonesia di berbagai Regional Fisheries Management Organization (RFMO).

Pembomgkaran Ikan Tuna Benoa Bali

Kerjasama Indonesia di RFMO

Tuna termasuk ikan beruaya jauh yang sebagian siklus hidupnya berada di laut lepas. Sesuai dengan amanat United Nations Law of the Sea (UNCLOS) 1982 dan United Nations of Fish Stock Agreement (UNFSA) 1995 bahwa pengelolaan dan konservasi sumberdaya hayati di laut lepas dilaksanakan melalui kerjasama regional yang dikenal dengan RFMO.

Menurut McDorman (2005) aspek penting regulasi yang dihasilkan RFMO yakni : penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan upaya pengelolaan dan konservasi.

Penentuan JTB diikuti dengan penentuan kuota setiap negara. Ketentuan ini telah diatur dalam UNFSA 1995 yang menyatakan bahwa pemberian kuota berlandaskan “prinsip keadilan dan tidak diskriminatif” terhadap negara anggota dan negara pihak.

Menurut Marjorie L (2007) untuk mendapatkan kuota tangkapan di RFMO melalui negosiasi intensif diantara negara anggota. Sampai saat ini, Delegasi Indonesia sukses mengawal kuota tangkapan ikan tuna pada RFMO dimana Indonesia menjadi anggota aktif.

Posisi Indonesia pada RFMO tersebut adalah :

PertamaCommision for the Conservation of the Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Indonesia merupakan anggota penuh sejak tahun 2007 melalui Perpres No.109 tahun 2007.

Tahun 2019, kuota tangkapan Ikan Tuna Sirip Biru Selatan Indonesia sebesar 1.023 ton atau meningkat hingga 73 % dari tahun 2008 sebesar 750 ton.

KeduaIndian Ocean Tuna Commission (IOTC). Status Indonesia adalah anggota penuh melalui ratifikasi Kovensi IOTC dalam Perpres No.9 tahun 2007. 

Alokasi kuota setiap negara belum ditentukan. Berdasarkan Resolusi IOTC No.17/01 bahwa setiap negara harus mengurangi hasil tangkapan tahun 2017-2019 yang dihitung berdasarkan tangkapan tahun 2014. Sebagai contoh, tangkapan purse seine Indonesia tahun 2014 sebesar 14.582 ton harus dikurangi sebesar 15 %, sehingga menjadi 12.395,7 ton.

KetigaWestern Central Pacific Fisheries Commision (WCPFC). Indonesia merupakan salah satu negara pendiri pembentukan WCPFC tahun 2007. Namun baru menjadi anggota penuh pada tahun 2013 melalui ratifikasi Agrrement pada Perpres No 61/2013.

Kuota tangkapan Ikan Tuna Mata Besar untuk alat tangkap longline tahun 2019 tetap sejak tahun 2014 sejumlah 5.889 ton. Pada saat yang sama kuota negara anggota lain mengalami penurunan, seperti Jepang dari 19.670 ton tahun 2014 menjadi 18.265 ton tahun 2019.

Pendataan Tangkapan Ikan Tuna di TPI Sendang Biru Malang

Jumlah Tangkapan dan Perdagangan

Berdasarkan Statistik Perikanan Tangkap tahun 2016, sebagian besar tuna yang didaratkan adalah Ikan Cakalang sejumlah 440,8 ribu ton atau 37,12 %. Selanjutnya Ikan Tuna Sirip Kuning 209,2 ribu ton atau 17,63 %, Kawa-kawa 190,5 ribu ton atau 16,05 % dan Ikan Tongkol 184,5 ribu ton atau 15,55 %.

Sekitar 75 % tangkapan tuna tersebut didaratkan di pelabuhan perikanan yang berhadapan dengan Samudera Pasifik, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Teluk Cendrawasih, Laut Banda dan Laut Arafura. Pelabuhan perikanan tersebut antara lain Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, PPS Kendari dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate. Sedangkan sekitar 21 % ikan tuna yang ditangkap berasal dari perairan Samudera Hindia. Sebagian besar ikan tuna tersebut didaratkan di Pelabuhan Benoa, PPP Binuangen, PPS Cilacap, PPN Prigi, PPP Mayangan dan PPP Pondok Dadap.

Dari data atuna.com, jumlah tangkapan ikan tuna yang diekspor pada tahun 2018 mencapai 82.234 ton. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai eksportir ikan tuna ke-enam terbesar. Dibanding negara ASEAN, Indonesia berada dibawah Thailand dan Philipinna. Rendahnya angka Indonesia dipengaruhi oleh hambatan yang berlaku pada setiap ekspor perikanan, yakni : permasalahan persyaratan standar kemanan pangan dan tingginya tarif impor dari negara tujuan.

Pendaratan Ikan Tuna di Benoa Bali

Pengendalian Mutu Ikan Tuna

Daging Ikan tuna termasuk yang cepat rusak jika tidak ditangani secara baik dan berpotensi penolakan ekspor dari negara tujuan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia. Upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya penolakan produk perikanan tersebut melalui :

Sertifikat Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB) atau Good Handling Practices Certificate. Sertifikat ini bertujuan untuk menjamin bahwa penanganan hasil tangkapan di kapal perikanan dan tempat pembongkaran hasil tangkapan telah memenuhi persyaratan pengendalian mutu. 

Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) atau Good Manufacturing practices certificate. SKP bertujuan untuk memastikan bahwa UPI telah menerapkan cara pengelohan yang baik dan memenuhi prosedur operasi sanitasi standar.

Sertifikat Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) untuk sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan mulai dari proses penangkapan hingga pengolahan. 

Health certificate yakni Sertifat Jaminan Mutu dan Keamana Hasil Perikanan pada proses produksi, pengolahan dan distrbusi. Health certificate dapat diperoleh jika UPI telah melaksanakan prinsip HACCP.

Disamping sertifikat tersebut, setiap UPI yang melakukan ekspor harus telah terdaftar atau memiliki approval number. Hal ini sebagai syarat bahwa sistem pembinaan mutu Indonesia setara dengan sistem yang berlaku di negara tujuan.

Sampai dengan tahun 2019 UPI telah terdaftar atau memiliki approval number pada 6 negara tujuan ekspor yakni China 634, Kanada 218, Rusia 15, Vietnam 403, Korea Selatan 487 dan Uni Eropa/Norwegia 177.

Melengkapi 4 dokumen tersebut Indonesia juga telah melaksanakan Catch certificate atau Sertifikat Hasil Tangkapan Indonesia (SHTI). Dokumen ini menyatakan bahwa setiap produk perikanan Indonesia bebas dari aktivitas IUU Fishing

Pengukuran Suhu Ikan Tuna, PPS Bitung

Pengukuran Suhu Tuna Beku di Pelabuhan Benoa

Hambatan Tarif Impor

Setiap negara tentunya berupaya melindungi daya saing perikanannya dengan memberlakukan sistem tarif masuk yang bervariasi. Sebagai contoh Jepang, memberlakukan tarif 3,5 % bagi negara ASEAN untuk impor Ikan Tuna dari Indonesia. Besaran tarif tersebut tidak berlaku untuk Philipinna yang hanya dikenakan tarif 0 %.

Begitu juga dengan Uni Eropa, Indonesia bersama Vietnam mendapatkan fasilitas Generalised Scheme of Preferences (GSP) dengan tarif 18,5%. Berbeda dengan Philipinna yang mendapatkan fasilitas GSP + dengan tarif 0 %, karena dianggap telah melaksanakan tatakelola pemerintah yang baik dan pembangunan berkelanjutan.

Saat ini , posisi Indonesia lebih baik dari Thailand karena dikenakan tarif hingga 22 %. Sejak tahun 2015 fasilitas GSP Thailand dicabut akibat kartu kuning yang diberikan terhadap produk perikanan Thailand. Namun per 8 Januari 2019 Uni Eropa telah mencabut status tersebut karena dianggap berhasil memerangi Illegal, Unreported and Unregulation (IUU) Fishing.

Thailand bergerak lebih maju dibanding Indonesia. Pada Konferensi Tuna Sedunia IX pada tanggal 16-17 September 2019 di Vigo Spanyol, Thai Union Groups menyampaikan bahwa Thailand telah memulai perundingan Free Trade of Agreement (FTA) dengan Uni Eropa. Targetnya adalah tarif 0 % untuk semua produk perikanan Thailand yang masuk ke Uni Eropa.

Akhirnya kita perlu mengantisipasi hal tersebut. Indonesia memiliki modal daya saing yang cukup dalam perdagangan tuna global. Modal tersebut berupa ; perairan Indonesia habitat penting ikan tuna tropis, aktif dalam berbagai RFMO, berkomitmen dalam pengendalian mutu dan sukses memerangi IUU Fishing. Modal tersebut menjadi bargaining memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam negosiasi perdagangan tuna dengan negara mitra.

Penanganan Ikan Tuna di Unit Pengolahan