Samudera Pasifik adalah masa depan industri perikanan tuna dunia. Di samudera ini, terutama di perairan Zona Ekonomi Ekslusive (ZEE) negara-negara anggota Parties to the Nauru Agreement (PNA) terkandung stock tuna dan cakalang terbesar didunia.
Kondisi ini didorong juga oleh fenomena el-nino yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Kejadian alam ini telah menggerakan konsentrasi tuna dan cakalang dari perairan sisi barat ke tengah Samudera Pasifik yang cenderung lebih hangat.
Oleh karena itu, perairan laut lepas dan ZEE negara-negara PNA merupakan sumber bahan baku utama dalam rantai posok tuna global. Saat ini, setengah dari kapal-kapal purse seine global melakukan penangkapan cakalang, tuna sirip kuning, tuna mata besar dan albokora dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan produk ikan kaleng, segar dan beku
Sesuai dengan regulasi internasional, penangkapan tuna dan cakalang di laut lepas Samudera Pasifik diatur oleh Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Sedangkan di wilayah ZEE negara pantai berdasarkan kerjasama bilateral dua negara yang merujuk pasal 64 United Nations Covention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Negara-Negara Tergabung dalam Parties to the Nauru Agreement (PNA) : Federated States of Micronesia, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Palau, Papua New Guinea, Solomon Islands dan Tuvalu
Adu Pengaruh Antara Jepang dan Amerika Serikat
Persaingan Jepang dan Amerika Serikat di Samudera Pasifik telah dimulai sejak perang dunia pertama berakhir. Melalui propaganda Hokko Ichu, Jepang berhasrat untuk menciptakan kemakmuran bersama negara-negara Asia Timur, terutama jajahan Belanda dan Inggris. Strategi ini sebenarnya sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional serta menggantikan pengaruh Amerika Serikat di Samudera Pasifik.
Tahun 1931, Jepang meng-invansi Tiongkok, namun dipaksa mundur oleh Amerika Serikat melalui sanksi ekonomi berupa embargo minyak. Sanksi ini melumpuhkan industri militer Jepang yang sedang berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan minyak dan bahan baku industri militernya, pada tahun 1942 Jepang melakukan penaklukan Hindia Timur (Indonesia), selanjutnya berlanjut ke negara-negara Asia Tenggara dan negara-negara di Pasifik.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, Jepang mengembangkan “Kebijakan Pangan Strategis” yakni kebijakan pengembangan armada perikanan dan mengendalikan negara-negara kepulauan Pasifik yang akan sumberdaya perikanan sepeti Palau, Federasi Mikronesia, Kepulauan Marshal dan Kepulauan Mariana Utara.
Pada awal tahun 1930 an terdapat 116 kapał pole and linę yang beroperasi di Samudera Pasifik yang ditujukan untuk memenuhi bahan baku tuna kaleng Katsoubushi. Produk ini berupa serutan seperti kayu dari ikan cakalang yang umumnya ditabur diatas makanan sebagai penyedap rasa pada masakan tradisional Jepang.
Kekalahan Jepang pada perang dunia kedua menyebabkan dominasi industri tuna di Samudera Pasifik beralih ke Amerika Serikat. Pada tahun 1960, perusahaan nasional Amerika Serikat Starkist membangun pabrik ikan kaleng pertamanya di Samudera Pasifik yahni di Pago-Pago dan Palau. Selanjutnya diikuti oleh Perusahaan Chicken of the Sea.
Kevakuman Jepang dalam industri tuna di Samudera Pasifik tidak berlansung lama. Pada tahun 1970 an kapal pole and line Jepang Kembali melakukan penangkapan tuna di perairan Papua New Guinea (PNG), Kepulauan Salomon dan Fiji. Persaingan dengan Amerika Serikat ini kembali dimulai , pada dekade 80-an. Negara ini juga meningkatkan operasional penangkapan kapal-kapal purse seine dari timur ke barat Pasifik.
Slide : Kapal Purse Seine Korea Selatan, Equador, Taiwan dan Aktivitas Pelelangan Tuna di Toyosu Jepang (istock: ClaudineVm, Mizoula,12MN,Kadnikovalleri)
Adu Kuat
Memasuki milenium ketiga, dominasi penangkapan tuna di Samudera Pasifik bergeser dari Jepang dan Amerika Serikat ke negara lainnya seperti Korea Selatan, Ekuador dan Taiwan. Selain itu, 2 negara anggota PNA yakni Papua New Gunea dan Kribiati juga berkontribusi signifikan, meskipun perikanan tunanya ditunjang dari investasi dari Philipinna dan Taiwan dalam beberapa dekade terakhir..
Laporan The Pew Charitable Trust tahun 2023 menyebutkan bahwa pada tahun 2019 sekitar 75 % penangkapan tuna hanya berasal 10 negara yang umumnya berasal dari Asia Timur dan Amerika Latin (tabel 1). Sebagian besar atau 84% tangkapan berasal dari alat tangkap purse seine yang utamanya untuk memenuhi bahan baku tuna kaleng atau produk tuna saku. Berdasarkan bendera negara, hampir 20 % merupakan kapal purse seine berasal dari Ekuador, sedangkan sisanya terbagi ke beberapa negara lainnya.
Sekitar 16 % hasil tangkapan berasal dari tangkapan kapal longline dengan target utama yellowfin dan bigeye yang merupakan bahan baku sashimi. Selain itu juga berasal dari tangkapan albacore untuk memenuhi industri tuna kaleng yang diekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Armada longline didominasi oleh kapal-kapal dari Taiwan dan Jepang.
Persaingan perdagangan dan pengolahan tuna juga terjadi, dimana tidak hanya melibatkan negara-negara penangkap tuna seperti Ekuador, PNG, Philipinna tetapi juga terdapat Thailand.
Thailand telah menjadi hub utama perdagangan tuna, dimana negara ini pengimpor bahan baku sekaligus eksportir utama produk tuna global. Uniknya, negara ini tidak memiliki kapal tuna di Samudera Pasifik dan mengandalkan 100 persen import bahan baku untuk menggerakan industri tunanya
Bahan baku tuna sepenuhnya disupply melalui tuna traders seperti FCF Fishery Co.Ltd, Tri-Marine Group dan Itochu Corporation. Tampa adanya dukungan tuna traders , Thailand akan kesulitan memenuhi kebutuhan 1 juta ton tuna tropis dan albacore untuk menggerakan industri tuna kalengnya.
Tabel: Volume (ton) Tangkapan Tuna dan Jumlah Kapal Yang Beroperasi di Samudera Pasifik Tahun 2019. (Sumber : diolah dari Laporan The Pew Charitable tahun 2023). Data yang digunakan tahun 2019 sebelum pandemi covid (tahun 2020 - 2022). Saat pandemi covid frekuensi pendaratan dan perdagangan terbatas sehingga data yang dianalisa tidak lengkap. Khusus Indonesia berdasarkan data laporan dari penangkapan tuna di perairan ZEE Indonesia yakni di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 dan 716.
Pentingnya Peran Tuna Trader
Tuna traders adalah pihak ketiga yang memegang peran penting dalam rantai pasok tuna untuk kebutuhan industri pengolahan. Mereka memiliki atau menyewa kapal pengangkut berpendingin (reefer carriers) dan bertransaksi lansung dengan kapal-kapal purse seine untuk menampung hasil tangkapan melalui alih muat (transhipment) yang selanjutnya dibawa langsung ke unit pengolahan atau coldstorage.
Pihak perantara dalam industri tuna ini juga membantu atau memandu pembeli untuk memenuhi standar yang diminta negara atau swasta. Saat ini terdapat 3 (tiga) tuna traders yang sangat berpengaruh dalam rantai pasok tuna globa, yakni FCF Fishery Co.Ltd, Tri-Marine Group dan Itochu Corporation.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Dalam laporan The Pew Charitable Trust ini mengungkapkan bahwa keseluruhan tangkapan tuna dan cakalang berasal dalam perairan wilayah yurisdiksi Indonesia, yakni ZEE Indonesia dan perairan teritorial yang menjadi wilayah kovensi WCPFC. Berdasarkan jumlah kapal yang terdaftar di WCPFC juga sangat minim. Saat ini terdaftar hanya 11 kapal purse seine atau 0,5 % dari total keseluruhan kapal-kapal perikanan yang terdata dalam organisasi perikanan regional ini.
Ekspansi armada perikanan tuna Idonesia di Samudera Pasifik perlu terus didorong, baik melalui bilateral aggreement dengan negara-negara anggota PNA atau penangkapan di laut lepas yang menjadi kewenangan WCPFC. Upaya tersebut perlu dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tuna kaleng indonesia. Disamping itu perlu mengantisipasi kekurangan bahan baku tuna dan cakalang akibat dampak fenomena el-nino yang telah menyebabkan bergeraknya konsentrasi tuna dan cakalang ke perairan wilayah tengah Samudera Pasifik.
Slide : Aktivitas Pendaratan kapal Purse Seine dengan Tangkapan Cakalang dan Aktivitas Pendarata Yellowfin Tuna di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung
Politik "Kartel Tuna"
Pada tahun 2022 yang lalu, sekitar 60 % penangkapan tuna global berasal dari Samudera Pasifik dengan volume pendaratan mencapai 2,7 juta ton atau senilai USD 5,9 miliar. Berdasarkan jenisnya , sebagian besar atau 1,7 juta ton adalah cakalang, dimana sekitar 90 % atau 1,5 juta ton berasal ditangkap di perairan negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik. Oleh karena itu, kawasan ini sangat penting dalam rantai pasok tuna global, terutama penyediaan bahan baku untuk tuna kaleng.
Meskipun memiliki stock tuna dan cakalang yang melimpah, ternyata sektor perikanan tidak memberikan kontribusi yang signifikan pada pendapatan nasional bruto negara-negara kepulauan di Pasific. Sementera negara-negara tersebut masuk dalam kategori miskin dan perikanan menjadi sumber utama untuk pendapatan negara.
Upaya yang dilakukan oleh PNA adalah mejalin kemitraan dengan negara-negara DWF melalui penjualan lisensi penangkapan dalam perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) nya. Upaya ini sesuai dengan United Nations of The Law the Sea ( UNCLOS) tahun 1982 dimana sumberdaya hayati yang berada di bawah 200 mil atau ZEE merupakan hak berdaulat negara pantai untuk mengeksplorasi, eksploitasi dan tindakan konservasi.
Jepang dan Amerika Serikat, awalnya menolak membayar biaya akses (access fee) untuk dapat menangkap ikan di diperairan ZEE negara-negara PNA. Pada tahun 1982, kapal penjaga pantai PNG menangkap kapal perikanan Amerika Serikat karena menangkap tuna didalam perairaan ZEE nya. Meskipun sempat terjadi penolakan, pada akhirnya Amerika Serikat menandatangani kesepatakan penangkapan tuna oleh kapal-kapal perikanan Amerika Serikat di perairan ZEE di Kepulauan Pasifik. .
Layaknya OPEC di minyak, PNA melakukan kartel tuna untuk melawan kekuatan besar dalam industri tuna global. Konsep yang digunakan mengarah ke oligopoli yang membatasi jumlah kapal penangkapan ikan dengan tujuan membatasi juga supply tuna yang masuk dalam rantai pasok global sehingga berdampak pada kenaikan harga jual di pasaran internasional. Tool yang digunakan untuk pengendalian penangkapan adalah Vessel Day Scheme (VDS), dimana membatasi operasional penangkapan berdasarkan jumlah hari melaut.
Apa yang terjadi di minyak sama hal dengan tuna, namun tidak seperti minyak yang merupakan sumberdaya terbatas sedangkan sumberdaya tuna akan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik dan ditangkap sesuai dengan batas potensi lestarinya.
Mengelola kartel tuna bukan perkara yang mudah bagi negera-negara kepulauan kecil di Pasifik akibat keterbatasan kemampuan administrasi dan tidak berpengalaman untuk melawan kekuatan negara besar. Untuk itu, kartel tuna melalui penetapan jumlah kapal dan jumlah hari melaut merupakan langkah besar dalam pengelolaan tuna secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi negara anggota PNA.
Tentang Vessel Day Scheme (VDS)
Pada awalnya, PNA menerapkan sistem kuota penangkapan (output control) yang dibagi ke setiap negara anggota. Namun pelaksanaanya tidaklah mudah, dimana negara-negara PNA memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan.
Kontribusi pendapatan dari lisensi penangkapan yang diberikan kepada kapal-kapal DWF juga tidak signifikan. Sementara itu kelestarian sumberdaya tuna semakin terancam akibat peningkatan kapasitas penangkapan untuk alasan efesiensi.
Dalam pertemuan PNA pada Desember 2004 , PNG mengusulkan untuk menggunakan Vessel Day Scheme (VDS). Skema ini berdasarkan effort control dimana lisensi penangkapan diberikan kepada kapal asing berdasarkan jumlah hari melaut untuk menangkap ikan (fishing days).
Berdasarkan Catch Per Unit Effort (CPUE) maka batas Total Allowable Effort (TAE) untuk jumlah hari penangkapan dapat dihitung. Selanjutnya “jumlah hari melaut” didistribusikan kepada negara anggota PNA dan dapat dijual kepada kapal asing yang akan menangkap di perairan ZEE nya.
Sistem VDS menjadi salah satu tool tata kelola penangkapan ikan yang kompleks yang pernah diterapkan. Namun dengan bantuan satelit khusus, PNA dapat memantau pergerakan kapal secara realtime dan sekaligus menghitung jumlah hari melaut yang digunakan. Pemantauan hasil tangkapan juga dibantu oleh tenaga obsever yang ditempatkan diatas kapal.
Strategi PNA membatasi jumlah hari melaut serta meningkatkan jumlah kapal bendera asing yang beroperasional berdampak pada peningkatan nilai hari melaut. Nilainya terus meningkat signifikan, pada tahun 2010 nilai VDS sebesar USD 500 per hari. Namun pada tahun 2017 telah menjadi USD 12.000 hari , sehingga pendapatan PNA yang juga meningkat dari USD 60 juta menjadi USD 500 juta.
VDS seolah menjadi “keajaiban finansial” bagi negara-negara kepulauan di Pasifik yang sempat dianggap menuju negara gagal. Sedangkan kartel produksi tuna telah menjadi tool favorit untuk politik ekonomi bagi negara PNA untuk meningkatkan pendapatah negara.