Thailand tidak memiliki armada penangkap tuna tetapi lebih dari sepertiga ekspor produk olahan tuna global berasal dari negara ini.

Dukungan pemerintah, peran asosiasi yang kuat dan kemitraan dengan tuna traders menjadi kunci keberhasilan Thailand dalam membangun industri tunanya. Selain itu, kemunduran industri tuna di Amerika Serikat dan Phlipinna dimanfaatkan dengan baik untuk merebut pangsa pasar dunia.

Keberhasilan Thailand dalam mengembangan industri pengolahan tuna menarik untuk dipelajari. Negara ini tidak memiliki sumberdaya dan armada penangkapan tuna tetapi menguasai pasar olahan tuna global.

Slide 1 : Keberadaan Bangkok Modern Terminal menjadi HUB utama logistik industri pengolahan tuna Thailand. Terminal ini berdekatan dengan industri pengolahan tuna sehingga dapat menekan biaya logistik (Photo : Istock; thitivong). Silde 2 :  Alur pasokan bahan baku dan ekspor olahan tuna Thailand untuk pasar global (Sumber : The Pew Charitable Trus tahun 2023). Slide 3 : Ilustrasi proses pengolahan tuna kaleng (Photo : Istock : shirinosov)

Pintar Memanfaatkan Peluang

Selama periode tahun 1970 an hingga awal tahun 1980, industri pengolahan tuna Thailand berkembang begitu cepat. Dampak dari daya saing yang menurun di negara maju serta pengaruh ketidakstabilan politik regional turut mendongkrak industri tuna di negara ini.

Beberapa kondisi yang berpengaruh tersebut antara lain :

Pertama, kemunduran industri pengolahan tuna Amerika Serikat akibat tidak mampu bersaing dengan industri serupa dari negara berkembang. Kondisi ini dipersulit dengan berhentinya pasokan bahan baku akibat ditutupnya akses penangkapan tuna diperairan Meksiko dan Amerika Latin lainnya.

Kedua, ketidakstabilan politik dimasa pemerintahan Presiden Ferdinan Marcos membuat Philipinna sulit memenuhi permintaan pasar Amerika Serikat. Sementara negara adikuasa tersebut merupakan pasar utama olahan tuna dari Philipinna.

Bagaimana Thailand merebut peluang tersebut ?

Mengutip laporan The Pew Charitable Trust tahun 2023 terdapat strategi pemerintah Thailand mengembangkan industri pengolahan tunanya;

Pertama, memusatkan industri pengolahan tuna dan industri penunjang di Bangkok dan daerah sekitarnya. Di Kawasan ini terdapat 23 industri dari 26 industri industri pengolahan tuna yang terdaftar di Thai Tuna Industry Association (TTIA). Selain itu juga didukung fasilitas dan industri penunjang seperti cold storage, pabrik kemasan kaleng, perusahaan logistik, pengepakan, pelabuhan laut dan bandara internasional.

Kedua, memperkuat peran asosiasi untuk mengembangan industri pengolahan tuna termasuk penetrasi pasar global. TTIA berdiri tahun 2014 atas iniasiasi Thai Union, Gold Prize Canning dan Asian Alliance International dan lainnya. Secara keseluruhan total kapasitas produksi yang tergabung dalam asosiasi ini mencapai mencapai 4.000 mt/hari atau mencapai 800.000 – 1,2 juta mt/tahun.

Ketiga, bekerjasama dengan “tuna traders” untuk menjamin ketersedian pasokan bahan baku. Tahun 2019, berdasarkan data international trade database BACI mengungkapkan bahwa Thailand mengimpor 546.933 ton tuna beku yang sebagian besar berasal dari kapal-kapal Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Federasi Mikronesia dan Amerika Serikat.

Sebagai perantaranya terdapat 3 perusahaan tuna traders utama yakni (1) Fong Chun Formosa (FCF) Fishery Co.Ltd, berasal dari Taiwan, (2) Tri Marine Group berbasis Amerika Serikat dan (3) Itochu Corporation yang berasal dari Jepang.

Keempat, mengupayakan pembebasan tarif import melalui kerjasama bilateral free trade agreement (FTA) dengan negara tujuan utama ekspor. Thailand menikmati bebas tarif untuk produk untuk produk tuna loin setengah jadi yang merupakan bahan baku untuk industri tuna kaleng di Amerika Serikat. Sedangkan untuk produk tuna kaleng jadi dikenakan tarif 6 % untuk campuran air dan 12 % untuk campuran minyak nabati.

Untuk pasar Jepang, melalui Japan Thailand Economic Partnership Agreement (JTEPA) telah menghapus tarif impor tarif tuna Thailand dari 5,7 % pada tahun 2007 menjadi 0 % pada tahun 2013. Kondisi ini membuat produk olahan tuna Thailand cukup kompetetive di pasar Jepang.

Thailand juga punya kemitraan perdagangan dengan Kanada, Australia dan beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, Yamen, United Emirates Arab dan Israel. Terakhir mereka juga berhasil penetrasi pasar di Amerika Latin, seperti Peru, Argentina, dan Chili.

Selain ketiga faktor tersebut, biaya upah buruh yang murah menjadi penarik ivestasi dan membuat harga produk Thailand cukup kompetitive di pasar global. Berdasarkan penelitian Camplinh da Doherty tahun 2007, upah buruh pekerja pengolahan tuna di Thailand sebesar USD 0,65 per jam. Bandingkan dengan Mauritius dan Seycheles masing-masing sebesar USD 0,9 dan 1,9 per jam .

Pentingnya Kemitraan dengan Tuna Traders

Pihak ketiga memegang kedudukan penting dalam keberlanjutan industri pengolahan tuna Thailand. Perannya tidak hanya menjamin pasokan bahan baku tetapi juga melakukan negosiasi pembelian dari kapal-kapal purse seine dan longline dari banyak negara.

Perusahaan pengolahan tuna Thailand mengikat tuna traders dalam kontrak jangka Panjang. Kesepakatan terdiri dari volume, jenis ikan serta waktu pengiriman ke unit pengolahan tuna milik perusahaan Thailand yang berada didalam atau diluar negeri. Selain itu juga kontrak memuat kesepakatan harga, asuransi, biaya kargo, mutu ikan, ikan rejects, kondisi kahar bahkan pembagian keuntungan perusahaan traders.

Guna memjamin kesedian stok tuna dari kapal penangkap, perusahaan traders menjalin hubungan yang baik dengan pemilik kapal. Bentuk ikatan tersebut berupa bantuan penyediaan bahan bakar minyak (BBM), keuangan, suku cadang kapal, penggantian awal kapal dan jasa lainnya.

Dalam beberapa tahun terakhir untuk menjaga stabilisasi pasokan bahan baku, perusahaan tuna traders juga memiliki kapal penangkapan tuna. Pada sisi hilir, mereka berinvestasi pada perusahaan pengolahan tuna yang menjadi mitranya.

Sebagai contoh, Contoh FCF Fishery Co.Ltd memiliki saham pada beberapa pengolahan tuna di Papua New Gunea (PNG) dan Thailand. Perusahaan ini juga telah memiliki saham tuna kaleng terkemuka di Amerika Serikat, yakni Bumble Bee Seafood. Sama halnya dengan Tri Marine, yang telah mengakusisi Bolton Group yang memiliki brand terkenal Rio Mare (Italia), Saupiquet (Perancis), Isabel (Spanyol) dan Wild Planet (Amerika Serikat).

Slide 1 dan Slide 2  : Proses pendaratan cakalang di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zahman Jakarta . Slide 3 : Pendaratan cakalang di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung Slide 4 : Aktivitas Pekerja Unit Pengolahan Tuna Kaleng di Kota Bitungf. Slide 5 : Produk Tuna Kaleng dari Bitung

Belajar dari Thailand

Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia. Tahun 2019, jumlah tangkapan tuna kita mencapai 1,16 juta ton atau 16 % dari total tangkapan tuna global. Sementara ekspor olahan tuna sejumlah 77.484 ton atau hanya 5 % dari perdagangan tuna global.

Pada tahun yang sama, ekspor Thailand mencapai 532.668 ton atau sepertiga dari total ekspor global. Sementara negara ini menggantungkan seluruh pasokan bahan bakunya dari impor negara lain.

Karakteristik industri pengolahan tuna kedua negara ini sangat berbeda. Thailand adalah pasar oligopoly dimana didominasi oleh industri besar sedangkan indusri kecil cenderung sebagai price-follower. Terdapat 3 perusahaan pengolahan tuna dengan kapasitas industri besar dan berhasil melakukan penetrasi pasar global yakni Thai Union Group, Chotiwat Manufacturing Company (CMC), dan Unicord Ltd./SeaValue Company.

Sementara di Indonesia, tidak terdapat perusahaan besar pengolahan tuna yang dominan menggerakan pasar. Kapasitas produksi hampir merata dan sebagian besar merupakan skala kecil hingga sedang yang tersebar di banyak tempat di Indonesia.

Meskipun struktur industri pengolahan tuna berbeda, Indonesia dapat mengimplementasikan strategi yang diterapkan Thailand, yakni :

Pertama, pemusatan lokasi pengembangan industri pengolahan tuna berdasarkan kelengkapan infrastruktur penunjang dan akses ekspor.

Jakarta merupakan lokasi yang paling strategis karena merupakan hub utama eskpor melalui kargo laut dan udara. Selain itu terdapat, Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zahman Jakarta sebagai titik pendaratan tuna dari Samudera Hindia.

Benoa atau Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan menjadi tempat pengolahan tuna segar, terutama pasar Jepang. Setiap hari terdapat penerbangan lansung dari Denpasar ke Tokyo.

Bitung dapat dikembangkan sebagai pusat industri pengolahan tuna di Indonesia Timur. Lokasi ini berbatasan dengan Samudera Pasifik yang merupakan sumber bahan baku tuna global. Di kota ini juga telah terdapat 4 dari 7 industri pengolahan tuna Indonesia dan puluhan cold stroge untuk menampung bahan baku. Tantangan lokasi ini adalah tidak ada akses langsung untuk ekspor tuna kaleng dan beku melalui kargo laut. Ekspor dilakukan melalui Jakarta atau Surabaya, sehingga berdampak meningkatkan biaya produksi dari komponen logistik.

Selain itu, industri pengolahan tuna Bitung perlu didukung oleh industri pabrik kaleng makanan sehingga membuat harga jual menjadi lebih kompetitive. Belajar dari Thailand, menurut Camplingh tahun 2015 terdapat 30 pabrik kaleng makanan di sekitar industri pengolahan tuna sehingga meningkatkan keuntungan hingga 5 % dibanding industri pengolahan tuna di negara lain.

Kedua, menjamin ketersediaan bahan baku melalui konektivitas antara sumber bahan baku dengan pusat industri.

Kendala pengembangan industri pengolahan tuna kita adalah mahalnya biaya logistik dari sumber bahan baku ke lokasi industri. Pasokan bahan baku didominan oleh nelayan skala kecil yang tersebar dibanyak tempat Indonesia dan terkadang sulit di akses.

Dampaknya adalah kita tidak dapat mengoptimalkan potensi sumberdaya tuna yang melimpah dan kapasitas industri yang terpasang. Menurut Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI), kapasitas terpakai industri pengolahan ikan kaleng kita saat ini sekitar 40 – 50 % dari kapasitas terpasang.

Kebijakan Penagkapan Ikan Terukur (PIT) yang akan diterapkan pemerintah Indonesia mulai tahun 2025, diharapkan dapat menjadi solusi mengatasi kelangkaan bahan baku. Kapal penangkap tuna diharuskan mendaratkan pada pelabuhan pangkalan yang menjadi zona penangkapanya.

Sedangkan untuk mengangkut bahan baku dapat menggerakan kapal pengangkut ikan yang melalui kebijakan PIT diberikan 20 pelabuhan muat dan 2 pelabuhan pangkalan.

Ketiga, mempercepat penyelesaian hambatan tarif dan non-tarif.

Dari 5,1 juta ton tangkapan tuna global tahun 2018, sekitar 3,2 juta diperuntukan sebagai bahan baku untuk produk tuna kaleng. Sejumlah 1,2 juta ton masuk ke pasar Uni Eropa dan 123 ribu ton untuk pasar Amerika Serikat.

Penetrasi olahan tuna Indonesia di kedua pasar tersebut sangatlah kecil, berdasarkan BACI tahun 2019 expor olahan tuna kita hanya sekitar 22,3 ribu ton. Minimnya volume ekspor tersebut disebakan masih adanya hambatan tarif dan non tarif untuk produk olahan tuna kita.

Terkait hambatan tarif, Indonesia perlu mempercepat penyelesaian perundingan Indonesia and European Union Comprehensive Patnership Agreement (IU CEPA) dan memulai perundingan dengan serupa dengan Amerika Serikat. Perjanjian dagang ini penting untuk mengurangi tarif olahan tuna kita hingga menjadi 0 %.

Selama ini, Fasilitas yang didapat Indonesia melalui skema Generalized System of Preferences (GSP) karena masuk negara berkembang dan memenuhi kriteria rules of origin, dimana bahan baku dan produk berasal dari kapal-kapal perikanan Indonesia. Melalui fasilitas GSP tarif tuna kaleng Indonesia turun dari 34 % menjadi 12,5 % dan Uni Eropa dari 24 % menjadi 20,5 %.

Sedangkan hambatan non tarif, Indonesia segera menyelesaikan tindakan Sanitary and Phytosanitary (SPS) yang diterapkan Uni Eropa dan Amerika Serikat. SPS bentuk perlindungan konsumen dari resiko kontaminasi, racun, zat aditif dan organisme penyebab penyakit dalam makanan.

Penyelesaian permasalahan SPS adalah mempercepat sertifikasi good handling practices, good manufacturing practices dan penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) untuk sarana dan prasarana penangkapan atau pengolahan tuna.

Selain itu, Indonesia perlu memperluas ekspor tuna ke timur tengah terutama merebut pasar halal. Sebagai contoh untuk pasar olahan tuna di Arab Saudi yang dikuasai oleh Thailand hingga 61 %, sedangkan Indonesia baru 24 %.

Keempat, ekspansi armada penangkapan tuna ke Samudera Pasifik.

Berdasarkan data base WCPFC, jumlah kapal perikanan Indonesia yang terdata menangkap di Samudera Pasifik sejumlah 23 kapal atau 0,7 % dari 3.186 kapal perikanan yang menangkap di Samudera Pasifik.

Pada tahun 2022, total volume tuna yang ditangkap dari Samudera Pasifik mencapai 2,7 ton atau 60 % dari tangkapan tuna global. Sekitar 90 % atau 1,5 juta ton berasal dari perairan negara anggota Parties to Nauru Agreement (PNA).

Perairan ini penting untuk pengembangan industri pengolahan tuna Indonesia. Eskpansi penangkapan armada penangkapan tuna nasional tidak cukup hanya di laut lepas Samudera Pasifik tetapi juga perairan negara anggota PNA melalui kerjasama bilateral.

Dominasi Thai Union Group

Thai Union Group merupakan satu dari tiga raksasa perusahaan pengolahan seafood di Thailand. Selanjutmya adalah Choriwat Manafaturing Company (CMC) dan Unicord Ltd (anak perusahaan SeaValue Co).

Ekspansi dan akusisi perusahan pengolahan tuna diberbagai negara menjadi strategi Thai Union mengembangan usahanya. Tahun 1977 bersama dengan Tri-Marine dan Ed Gann, mereka mengambil alih kepemilikan saham Chicken of the Sea termasuk unit pengolahannya di Samoa.

Selanjutnya pada tahun 2008, menjadi pemegang saham terbesar Yueh Chyang Canned Food Ltd yang berbasis di Vietnam. Pada tahun 2009 Thai Union memiliki sepertiga saham perusahaan tuna kaleng bernama Moresby International Holding yang berbasis di PNG. Terakhir, pada tahun 2010 membeli MW Brands di Eropa yang memiliki saham pada John West Brand di UK (30 %), Mareblu di Italia (6 %) dan Petite Navire di Perancis (sekitar 32 %).

Guna mengurangi resiko flutuaksi harga, Thai Union tahun 2017 membeli 17 fasilitas pengolahan tuna di Amerika Serikat, Afrika dan Asia. Enam unit pengolahan yakni Thailand (Thai Union Manafacturing dan Songkla). Indian Ocean Tuna di Seycheless (350 ton/hari), Pioneer Food Cannery di Ghana (60 mt/hari), Yueh Chyang Canned Food di Vietnam ( 80 mt/hari) dan Juifta International Foods (30 mt/hari) di Indonesia.

Sedangkan jaminan ketersedian bahan baku untuk unit pengolahan tuna tersebut, Thai Union bekerjasama dengan perusahaan tuna trader Tri Marine dan FCF Fishery Co.Ltd

Meskipun tidak hadir langsung dalam penangkapan tuna di Samudera Pasifik, Thai Union aktif mendukung program kerja Parties to the Nauru Agreement (PNA). Melalui program Pacific Island Tuna Provision (PIPT), perusahaan Thailand ini membuka peluang kerja bagi tenaga lokal sebagai buruh bongkar. Bekerjasama dengan The Nature Conservacy (TNC) telah dilakukan sertifikat MSC pada 12 kapal purse seine yang dikelola oleh PNA. .