Sejak ribuan tahun lalu, tuna menjadi komoditas seafood yang paling banyak dicari. Beberapa negara berlomba untuk mendapatkannya, bukan saja karena nilai ekonomisnya yang tinggi tetapi juga untuk mengamankan kebutuhan domestiknya.
Sayangnya stocknya semakin terbatas dan dibeberapa perairan menunjukan telah terjadi overfishing. Hal ini membuat persaingan antar negara penangkap tuna semakin ketat hingga melegalkan segala cara untuk mendapatkannya
Apa penyebab persaingan tersebut dan bagaimana upaya mereka mendapatkannya ?
Simak tulisan berikut…..
Permintaan Pasar Terus Meningkat
Permintaan tuna secara global akan semakin meningkat setiap tahunnya. Mengutip analisa pasar yang dilakukan oleh www.globenewswire.com, pada tahun 2022 nilai perdagangan tuna telah mencapai USD 42,63 miliar atau setara Rp. 639,4 Triliun. Hingga lima tahun kedepan permintaan tuna akan terus tumbuh dengan rata-rata 3,65% setiap tahun, maka pada tahun 2028 nanti diproyeksikan nilai perdagangan tuna mencapai USD 52,85 miliar atau setara Rp. 792,75 triliun.
Tingginya permintaan tuna tersebut dipengaruhi beberapa hal :
Pertama, jumlah penduduk yang terus tumbuh sehingga kebutuhan pangan juga semakin meningkat, termasuk dari laut seperti tuna.
Kedua, perubahan gaya hidup untuk mengkosumsi makanan sehat sepeti tuna yang mengandung protein esensial, omega 3, asam lemak dan gizi tambahan.
Ketiga, tuna kaleng termasuk makanan siap saji yang cocok untuk kebutuhan orang-orang sibuk di perkotaan.
Keempat, tuna termasuk makanan yang mudah dimasak dan tuna kaleng dapat bertahan lama.
Kelima, promosi yang banyak dilakukan food blogger di media sosial secara tidak lansung mendorong masyarakat mengkosumsi tuna. Saat ini makanan yang berbahan baku tuna seperti sandwiches, salad dan sushi menjadi makanan populer di perkotaaan.
Tingginya pertumbuhan permintaan tuna tersebut tidak sebanding dengan volume yang didaratkan. Boonmee Lee dari Prince of Songkla University pada tahun 2021 mengembangkan ARIMA-Spine Model untuk memproyeksi pendaratan tuna secara global. Data yang digunakan antara tahun 1950 hingga 2015 untuk 7 jenis tuna utama (principal market) , yakni : cakalang, tuna sirip kuning, albokora, tuna mata besar, tuna sirip biru pasifik dan tuna sirip biru selatan.
Lee menyimpulkan bahwa titik optimum tangkapan tuna secara global akan terjadi pada tahun 2025 yakni sejumlah 5,09 juta ton. Angka tersebut akan tetap stabil hingga tahun 2030, namun selanjutnya turun rata-rata 0,78 % pertahun. Berdasarkan kedua analisa peningkatan permintaan pasar dan kemampuan menyediakan tuna yang terbatas maka mendorong banyak negara untuk menangkap ke laut lepas atau berkerjasama dengan negara pantai lainnya.
Gambar 1. Aktivitas Pendaratan Tuna di Benoa Bali. Gambar 2. Menunggu Penimbangan Tuna di TPI Pondok Dadap, Malang Gambar 3. Pemotongan Tuna di Pasar Kuramon, Osaka (istock/ymgerman)
Mengamankan Kebutuhan Domestik dan Kepentingan Ekonomi
Dibanyak negara, kebutuhan seafood semakin meningkat setiap tahunnya sedangkan perairannya telah mengalami overfishing atau bahkan dalam kondisi kolaps. Tiongkok contohnya, pada pertengahan tahun 80 an sebagian besar perairan pantainya dalam kondisi overfishing. Hal ini memukul industri perikanan, supply bahan baku industri pengolahan ikan berkurang dratis dan membuat banyak nelayan menjadi pengangguran.
Pada saat yang sama, permintaan seafood semakin meningkat akibat bertambahnya penduduk kelompok menengah ke atas sebagai dampak berhasilnya modernisasi ekonomi Tiongkok. Oleh karena itu, sekitar 60 – 65 % hasil tangkapan kapal DWF Tiongkok untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Demikian juga Jepang, sejak perang dunia pertama negara ini mempunyai kebijakan “Kebijakan Pangan Strategis” yakni pengembangan armada kapal pole and line di Samudera Pasifik. Kebijakan ini mendukung pengembangan industri tuna kaleng dalam negeri dengan khas makanan tradisional Jepang Katsoubushi.
Sempat terhenti pasca kekalahan perang dunia ke dua, pada tahun 1960 an armada perikanan pole and line Jepang Kembali meramaikan penangkapan tuna di Samudera Pasifik, teruma di ZEE di negara Kepulauan Salamon, Fiji dan Papua New Guinea.
Subsidi Perikanan Bukan Hal Yang Tabu
Tampa subsidi, hasil tangkapan kapal-kapal DWF secara ekonomis tidak menguntungkan, akibat tingginya biaya operasional yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, negara-negara utama DWF tetap memberikan subsidi kepada armada perikanannya. Kebijakan ini ditentang oleh World Trade Organization (WTO) karena dianggap sebagai penyebab terjadinya overfishing dan mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Jenis-jenis subsidi yang diberikan kepada armada DWF antara lain berupa Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, modernisasi kapal perikanan untuk meningkatkan kapasitas penangkapan, perbaikan tata kelola perikanan dan pengembangan dan pembangunan pelabuhan perikanan. Berdasarkan hitungan The Pew Charitable Trust tahun 2018, total subsidi yang diberikan oleh 5 negara utama DWF mencapai USD 1,5 miliar atau Rp.33,75 triliun.
Distant Water Fishing (DWF)
Istilah Distant Waters Fishing (DWF) diperuntukan bagi kapal perikanan yang beroperasional diluar wilayah jurisdiksinya, terkadang menangkap ikan hingga jauh dari perairan negara asalnya dengan waktu yang lama. Wilayah penangkapan berada di laut lepas atau perairan ZEE negara pantai.
Penangkapan ikan di laut lepas diatur oleh Organisasi Perikanan Perikanan Regional atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Saat ini terdapat 5 RFMO yang utamanya mengatur perikanan tuna yakni ; Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC), dan International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT).
Sedangkan penangkapan tuna diperairan ZEE negara pantai sesuai dengan Kovensi Hukum Laut International atau United Nations Covention of Law of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Pada pasal 62 UNCLOS, negara pantai dapat menentukan kapasitas penangkapan domestiknya dan jika belum dimanfaatkan dapat diberikan ke negara lain.
Pemberian akses penangkapan ke negara lain terdiri dari 4 bentuk jenis perjanjian yakni; bilateral antar negara, bilateral antar perusahaan, sewa dan kerjasama kemitraan. Saat ini, hampir 90 % kapal DWF berasal dari China, Taiwan, Korea Selatan, Jepang dan Spanyol. Sebagian besar wilayah penangkapan berada di Samudera Pasifik, Afrika Barat, Afrika Timur dan Afrika Selatan. Berdasarkan alat tangkap sekitar 2/3 nya adalah longline dan purse seine dengan tangkapan utama adalah tuna.
Bagi negara pantai, kehadiran armada Distant Waters Fishing (DWF) memberikan berkah untuk pembiayaan pembangunan dalam negeri. Pada tahun 2014, di Karibati sekitar 60 % dari total pendapatan negara berasal dari fee lisensi dari kapal perikanan asing. Begitu juga dengan Federasi Mikronesia menyumbang sekitar 21 % dari total pendapata negara.
Gambar 1. Kapal Angkut Tiogkok di Kepulauan Seychelles (istock/dvoevnore). Gambar 2. Kapal Penangkapan Philipina di Kawasan Industri Pelawan (istock/tupungato)
Menyelisik Pengembangan Armada DWF Tiongkok
Tahun 1986, Tiongkok menetapkan Undang-Undang Perikanan yang bertujuan untuk memulihkan perairan nasionalnya yang telah overfishing, perikanan yang kolaps melalui penutupan daerah penangkapan dan pengembangan armada perikanan lepas pantai. Untuk memenuhi kebutuhan seafood dalam negeri tidak ada cara lain selain mendorong armada perikanan nasionalnya untuk menangkap jauh diluar wilayah jurisdiksinya melalui dukungan pembiayaan, teknologi dan keringanan pajak.
Pada awal abad 21, Tiongkok memulai pendekatan yang lebih holistik untuk mengembangan armada DWF nya. Kepentingan tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga strategi politik kawasan yang dikembangkan oleh Tiongkok.
Subsidi tindak hanya diberikan oleh pemerintah pusat tetapi juga pemerintah lokal, sehingga menjadikan kapal perikanan Tiongkok paling produktif untuk menjangkau seluruh perairan dunia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Stimson Center tahun 2020, terdapat 3 (tiga) alasan Tiongkok mengembangkan armada DWF nya yakni :
Pertama : pemenuhan kebutuhan seafood dalam negeri yang jumlahnya sekitar 60 -65 % hasil tangkap DWF.
Kedua : penegasan klaim Tiongkok terhadap perairan Laut China Selatan, dimana keberadaan kapal perikanan sebagai bentuk eksitensi mereka di perairan tersebut. Sehingga tidak jarang armada kapal perikanan tersebut dikawal oleh kapal China Coast Guard.
Ketiga : kehadiran kapal DWF di perairan banyak negara merupakan bagian mega proyek Belt and Road Initiative (BRI). Program ini memberikan bantuan pembangunan infrastruktur diseluruh negara yang dilewati, dalam konteks DWF berupa bantuan pembangunan pelabuhan perikanan untuk menampung pendaratan ikan dari kapal-kapal DWF Tiongkok.
Sebaran Kapal DWF Tingkok di Seluruh Dunia (Fishing Hours Per 1 Dehree Square) . Stimson Center, 2020