Sebagai negara yang berada pada Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia sangat rentan akan terjadinya gempa bumi dan letusan gunung berapi yang memicu terjadinya bencana tsunami. Sejarah mencatat bencana tsunami telah menelan ratusan ribu korban jiwa di Indonesia, bencana yang cukup besar antara lain Tsunami Aceh tahun 20041 dengan korban 250.000 jiwa1, Tsunami Flores tahun 19921 dengan korban 2,808 jiwa, Tsunami Palu tahun 2018 dengan korban 2.1132 jiwa dan terakhir Tsunami Banten akhir tahun 2018 dengan korban sampai dengan 2 Januari 2019 mencapai 429 jiwa.
“Kelompok masyarakat yang paling terdampak akibat bencana tsunami adalah nelayan. Bukan hanya kehilangan anggota keluarga dan property namun mereka juga kehilangan pendapatan akibat hilang dan rusaknya sarana produksi berupa kapal dan alat penangkapan ikan.”
Dampak Bencana Tsunami Bagi Nelayan
Berdasarkan data Badan Rekontruksi dan Rehalibitasi (BRR) NAD-Nias tahun 20063 menyatakan bahwa jumlah nelayan yang terkena dampak tsunami Aceh tahun 2004 sejumlah 54.526 orang, dimana 35.927 orang adalah nelayan penuh. Jumlah armada penangkapan yang terkena dampak mencapai 9.563 unit dan 38 pendaratan ikan dalam kondisi rusak. Total kerugian perikanan tangkap akibat bencana tsunami mencapai Rp.2,8 Triliun
Sedangkan publikasi FAO tahun 20074 mengestimasi dengan jumlah korban yang lebih besar, meskipun tergabung dengan pelaku usaha perikanan lainnya dan akurasi datanya perlu dipertanyakan. FAO mengestimasi jumlah nelayan dan pembudidaya ikan serta keluarganya yang meninggal mencapai 167.000 orang, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, jumlah tersebut sekitar 67 % dari total korban bencana tsunami yang dipublikasikan Kementerian ESDM1. Jumlah kapal yang hilang mencapai 7.200 kapal dan 4.000-5000 kapal rusak dengan nilai mencapai US $ 10 juta setara Rp.142 M serta 20.000 alat penangkapan ikan rusak dengan nilai US $ 18 juta setara Rp.256 M. Selanjutnya 55 % pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan dalam kondisi rusak.
Tsunami Palu akhir September 2018 juga berdampak bagi 10.072 Nelayan Kabupaten Donggala dan 1.448 Nelayan Kota Palu5. Meskipun tidak ada angka pasti jumlah nelayan yang menjadi korban, namun tsunami telah menghacurkan kampung-kampung nelayan, kapal dan alat penangkapan ikan di pesisir Palu dan Donggala. Terakhir Tsunami Lampung dan Banten akhir tahun 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat sekitar 420 unit kapal rusak6.
Disamping kerugian ekonomi, bencana tsunami juga meninggalkan trauma akut bagi korban. Hasil Studi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) tahun 20067 terhadap korban tsunami tahun 2004 di pesisir Malaysia, setelah 2 (dua) tahun pasca tsunami masih terdapat 78,1 % responden nelayan korban tsunami masih mengalami gangguan phisikologis berupa trauma akut dan susah tidur.
Kebijakan Mitigasi Tsunami
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai lembaga yang bertanggungjawab penanganan dan penaggulangan bencana di Indonesia telah memiliki mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana7. Tahapan mekanisme meliputi tahapan prabencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
Upaya yang dilakukan BNPB untuk segera membantu korban tsunami dilaksanakan melalui mekanisme tanggap darurat meliputi (1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumberdaya (2) penentuan status keadaa darurat bencana (3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana (4) pemenuhan kebutuhan dasar (5) perlindungan terhadap kelompok rentan dan (6) pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.
Pada saat tanggap darurat ini umumnya terjadi mobilisasi massal bantuan ke korban bencana baik dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat. Lemahnya koordinasi antar instansi dan bantuan masyarakat yang disalurkan tampa komunikasi dengan pemerintah mengakibatkan banyak bantuan yang menumpuk pada satu tempat dan tidak terdistribusi rata di lokasi-lokasi bencana. Kondisi ini menjadi potensi konflik dalam penanganan korban bencana tsunami.
Pada saat tanggap darurat, korban nelayan yang tekena tsunami dikoordinasikan BNPB , sedangkan kementerian/lembaga terkait mendukung pelaksanaan tanggap darurat tersebut. Setelah tanggap masa tanggap daurat berakhir tahapan selanjutnya adalah rehalibitasi kehidupan nelayan (pasca bencana). Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Dinas Kabupaten memiliki peran utama dalam tahapan ini.
Pada bencana tsunami Lampung dan Banten akhir Desember 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyampaikan beberapa kebijakan pasca tanggap darurat bagi nelayan antara lain berupa bantuan bengkel nelayan bergerak (mobil) untuk memperbaiki perahu, kapal perikanan dan alat tangkap yang rusak serta percepatan pembayaran klaim asuransi nelayan, bagi korban nelayan yang meninggal dan terluka9.
Penanganan Pasca Tsunami
Disamping dua kebijakan tersebut terdapat beberapa kebijakan perlu dipertimbangkan yakni :
Skema khusus untuk bantuan modal bagi nelayan korban bencana. Saat ini skema bantuan modal yang memungkinkan adalah melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku bunga 7 % dan Lembaga Pengelolaan Modal Usaha Kelautan dan Perikanan dengan suku bunga 3 %. Kedua skema ini bertujuan untuk pengembangan usaha untuk modal kerja dan investasi untuk peningkatan produktivitas usaha bukan skema khusus untuk bantuan modal usaha bagi nelayan korban bencana tsunami. Dengan ada suku bunga akan memberatkan nelayan untuk mengembalikan pimjaman dan berpotensi menjadi kredit macet.
Persyaratan administasi juga akan menjadi kendala bagi nelayan untuk menerima bantuan kredit dalam waktu dekat. Misalnya untuk KUR Mikro, kelengkapan dokumen berupa Kartu Tanda penduduk, Kartu Keluarga dan Surat Izin Usaha menjadi persyaratan untuk memperoleh kredit. Permasalahanya hampir seluruh dokumen nelayan yang dibutuhkan untuk mengakses kredit ikut hilang akibat bencana tsunami.
Belajar dari Malaysia untuk membantu modal usaha nelayan Malaysia yang terkena tsunami tahun 2004. Pemerintah Malaysia memberikan pinjaman lunak maksinal RM. 25.000 atau setara Rp. 86.000.0007. Pinjaman ini tampa Bunga dengan massa pengembalian 48 bulan.
Bantuan Penggantian Kapal dan Alat Penangkapan Ikan. Bantuan rehalibitasi dan rekontruksi armada penangkapan ikan diutamakan pada nelayan skala kecil yang sangat terdampak akibat bencana tsunami. Peran data kapal yang hilang, rusak dan jumlah nelayan yang terkena bencana tsunami sangat penting. Jumlah kapal yang dibantu harus mempertimbangkan potensi sumberdaya ikan di perairan tersebut. Bantuan yang melebihi kapasitas penangkapan ikan dikhawatirkan akan menimbulkan overfishing dan menjadi usaha penangkapan ikan tidak layak secara ekonomi.
Restorasi terhadap ekosistem utama pesisir. Pemulihan ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun dan hutan pantai bertujuan untuk menjamin ketersedian stok ikan di perairan.
Referensi
- https://www.esdm.go.id/assets/media/content/Pengenalan_Tsunami.pdf
- https://bnpb.go.id/percepatan-pemulihan-dampak-bencana-terus-diintensifikan-di-sulawesi-tengah-2113-orang-meninggal-dunia-dan-1309-orang
- A. Halim dan Z Imram, 2006. Revitalisasi Perikanan Tangkap Propinsi Aceh Pasca Tsunami. Badan Rekontruksi dan Rehalibitasi (BRR) NAD-Nias.
- FAO, 2007. Disaster response and risk management in the fisheries sector. Roma.
- DKP Sulteng, 2015. Statistik Perikanan Tangkap Sulteng tahun 2015. Palu.
- https://nasional.kompas.com/read/2018/12/24/23472171/kkp-akan-ganti-perahu-dan-alat-tangkap-nelayan-yang-terdampak-tsunami
- UKM, 2006. Impact of Tsunami on Fishing, Aquacuture and Coastal, Communities in Malaysia. Selangor Malaysia.
- Perka BNBP No 4, 2008. Pedoman Penyusunan Penanggulangan Bencana.Jakarta
- https://kkp.go.id/artikel/8116-kkp-buka-posko-tanggap-dampak-bencana-tsunami-di-banten-dan-lampung