Pertengahan tahun 2020 ini, Food Agricultural Organization (FAO) telah meluncurkan The State of the World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) 2020. Agenda dua tahun ini mereview status dan pemanfaatan sumberdaya perikanan global berdasarkan data terakhir, yakni tahun 2018.

SOFIA tahun 2020 ini menjadi begitu istimewah, karena bersamaan dengan 25 tahun pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang secara resmi di adopsi menjadi dokumen resmi FAO pada tanggal 31 Oktober 1995.  Meskipun bersifat sukarela, faktanya CCRF telah menjadi panduan dan standar pengelolaan perikanan banyak negara dan organisasi kerjasama pengelolaan perikanan regional.

Saat ini implementasi CCRF juga diperkuat dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Agenda 14 yakni ” Mengkonversi dan Memanfaatkan Secara Berkelanjutan Sumber Daya laut, Samudera dan Maritim Untuk Pembangunan Yang Berkelanjutan“.

Meskipun telah dimulai sejak tahun 2015, FAO menilai pelaksaaan SDGs masih terkesan berjalan sangat lambat. Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal PBB pada SDG’s Summit September 2019 menyerukan perlu ada mobilisasi dan mengakselerasi pelaksanaanya SDGs sebagai solusi pembangunan keberlanjutan.

Berikut beberapa hal yang diulas dalam laporan SOFIA tahun 2020.

Proses Pendaratan Tuna Segar di PPS Bitung
Proses Pendaratan Tuna Segar di PPS Bitung

Status Pemanfaatan Perikanan Global

Jumlah Maximum Sustainbale Fished turun dari 90 % pada tahun 1974 menjadi 65,8 % pada tahun 2017. Sedangkan status sumberdaya ikan underfished stock juga turun dari 59,6 % pada tahun 1974 menjadi 6,2 % tahun 2017. Meskipun turun pada tahun 2018, status underfished stock sedikit membaik dibanding tahun 1989 dengan meningkatkan biomassa sumberdaya ikan, sebagai dampak positif dari pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dibanyak negara.

Tahun 2018, jumlah produksi perikanan tangkap telah mencapai 96,4 juta ton. Sekitar 50 % nya berasal dari produksi perikanan tangkap dari Tiongkok, Indonesia, Peru, India, Rusia, Amerika Serikat dan Vietnam. 

Berdasarkan jenis ikan, Anchovetta (Engraulis ringens) atau teri peru merupakan jenis ikan dominan yang ditangkap, produksinya mencapai 7,045 ton atau 10 % dari produksi perikanan tangkap global. Tahun 2018 merupakan puncak hasil tangkapan Anchovetta, setelah beberapa tahun terakhir jumlah tangkaoannya terus mengalami penurunan. Tangkapan anchovetta terutama berasal dari kapal-kapal penangkapan ikan Peru dan Chile.

Dalam SOFIA 2020 juga dilaporkan bahwa produksi perikanan tangkap dari perairan umum seperti sungai, waduk dan rawa mencatat rekor produksi tertinggi, yakni  12 juta ton. Namun menurut FAO, data produksi tersebut dapat saja keliru, karena banyak negara menggandakan hasil produksinya dari angka semestinya.

Bagaimana dengan Indonesia ? FAO memberikan catatan khusus untuk Indonesia pada SOFIA 2020. Angka produksi perikanan tangkap tahun 2017 dan 2018 berdasarkan angka estimasi FAO, karena hingga SOFIA 2020 disusun, Indonesia masih dalam tahapan penyempurnaan sistem pendataan perikanan melalui Program Satu Data Perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan RI di PPN Muara Anke
Kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan RI di PPN Muara Anke Tahun 2019

Produksi perikanan budidaya mencapai 114,5 juta ton pada tahun 2018 atau senilai 263,5 Miliar Dollar AS. Sekitar 62,5 % atau 51,3 juta ton berasal dari budidaya perikanan perairan umum seperti sungai, waduk dan rawa. Sedangkan sisanya atau 38,8 juta ton berasal dari budidaya perikanan perairan laut. Sekitar 90 % produksi perikanan budidaya berasal dari negara Asia, yakni Mesir India, Indonesia dan vietnam.

Pusat Perikanan Budidaya (Keramba) di Siak Hulu Pekanbaru
Pusat Perikanan Budidaya (Keramba) di Siak Hulu Pekanbaru

Tahun 2018 sejumlah 59,51 juta orang bekerja di sektor perikanan, terdiri dari 20,53 juta pembudidaya ikan dan 38,98 juta nelayan. Sekitar 85 % pelaku usaha perikanan tersebut  berada di negara-negara Asia, seperti China, India, Vietnam dan Indonesia.

Peran wanita dalam pengelolaan perikanan juga mendapat pembahasan khusus di SOFIA 2020.  Sekitar 45 % pekerja perikanan adalah wanita yang memiliki peran penting penyediaan lapangan kerja dan membantu pendapatan keluarga nelayan.

Wanita Nelayan di PPI Tanjung Luar Lombok
Wanita Nelayan di PPI Tanjung Luar Lombok

Jumlah kapal perikanan tahun 2018 mencapai 4,56 juta kapal, sekitar 68 % atau 3,1 juta kapal perikanan berada di Asia.  Jumlah kapal motor mencapai 2,86 juta kapal perikanan atau 63 %. Sedangkapan kapal berukuran kurang dari 12 meter mecapai 82 % dari total armada penangkapan ikan. Terkait data tersebut, FAO menyatakan bawah jumlah armada perikanan tersebut bisa jadi tidak akurat, karena sebagian besar kapal skala kecil di banyak negara tidak terdaftar dan memiliki izin.

Aktivitas Pendaratan Ikan di PPI Cisolok Jawa Barat
Aktivitas Pendaratan Ikan di PPI Cisolok Jawa Barat

Ikan yang di kosumsi langsung oleh manusia sejumlah 156 juta ton atau 88 % dari total produksi perikanan tahun 2018.  Sedangkan 12 % nya atau 22 juta ton diolah untuk kebutuhan non pangan lainnya seperti tepung ikan dan minyak ikan.

Perkembangan teknologi, peningkatan pendapatan dan kesadaran akan pentingnya ikan bagi kesehatan telah meningkatkan kosumsi ikan di banyak negara.  Selama tahun 1961 hingga 2017 rata-rata kosumsi ikan tumbuh sekitar 3,1 % setiap tahunnya. Jumlah kosumsi ikan meningkat dari 9 kg per kapita tahun 1961 menjadi 20,3 kg perkapita tahun 2017.

Sushimi
Sushimi

Tinggi angka losses and waste di perikanan juga menjadi permasalahan serius yang perlu dicarikan solusinya. FAO mencatat sekitar 35 % ikan tidak termanfaatkan setiap tahunnya, oleh karena itu upaya mengurangi losses and waste dapat membantu tekanan terhadap stok sumberdaya ikan dan berkontribusi untuk keamanan pangan dari ikan di masa depan.

Tahun 2018 tercatat  67 juta ton ikan diperdagangkan di dunia atau 38 % dari produksi perikanan tahun 2018. Sekitar 90 % produk perikanan yang diperdagangkan adalah produk olahan dan beku. Tiongkok merupakan negara eksportir utama sejak tahun 2002 , selanjutnya diikuti oleh Norwegia dan Vietnam. Sedangkan negara importir utama produk perikanan adalah negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.

Aneka Produk Tuna Kaleng Bitung
Aneka Produk Tuna Kaleng Bitung

Pengelolaan Berkelanjutan

Saat ini, CCRF telah banyak diadopsi oleh oleh banyak negara dan menjadi panduan pengelolaan perikanan perikanan regional.  Meskipun bersifat sukarela, pelaksanaan CCRF terikat dalam regulasi dan hukum internasional tentang perikanan.

CCRF ditujukan kepada negara anggota FAO, anggota Non FAO serta pemangku kepentingan perikanan pada tingkat subregiobal, regional dan global.  Pemangku kepentingan perikanan tersebut terdiri dari pemerintah, organisasi non pemerintah dan semua pihak yang terlibat di perikanan seperti nelayan, pembudaya ikan, pengolah dan pemasaran perikanan.

Sampai saat ini terdapat 50 panduan teknis CCRF , 4 rencana aksi internasional, dan 3 rencana strategi internasional sebagai acuan pelaksanaan CCRF. FAO juga menjadikan dokumen CCRF sebagai dasar kerjasama perikanan internasional sebagai upaya mewujudkan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang berkelanjutan pada tahun 2030 (Agenda 2030).

Sesuai dengan mandat Committee of Fisheries (COFI) sebagaimana yang ditetapkan pada Artikel 4 CCRF  bahwa setiap dua tahun FAO harus  melaporkan perkembangan pelaksanaan CCRF.

Pada tahun 2018 tercatat berbagai responden dari 128 negara telah memberikan hasil evaluasi pelaksanaan CCRF , dengan kesimpulan sebagai berikut :

Pertama, terdapat trend perbaikan pengelolaan perikanan pada tingkat nasional dan regional.

Kedua, dalam satu dekade terakhir terdapat trend positif penerapan ecosystem approach to fishery (EAF) dalam sistem pengelolaan perikanan nasional.  Sejumlah 2/3 negara anggota FAO melaporkan telah mengadopsi EAF dalam sistem pengelolaan perikanannya.

Ketiga, sejumlah negara anggota telah menyampaikan ketertarikan pada panduan pengelolaan perikanan skala kecil , terutama terkait dengan keselamatan di laut. Dalam kuesioner juga mengindikasikan meningkatnya kontribusi nelayan skala kecil dan pekerja perikanan dalam pengambilan keputusan.

Keempat, perikanan budidaya telah menjadi agenda penting dalam pengelolaan perikanan di banyak negara anggota. Pada tahun 2012, sejumlah 98 % negara anggota melaporkan telah terdapat aktivitas usaha perikanan budidaya di negaranya, namun hanya 40 % negara anggota FAO yang memiliki regulasi nasional tentang hal ini.

Kelima, pada tahun 2012 terdapat 77 % negara anggota telah  sistem keamanan dan jaminan mutu produk hasil perikanan. Sejumlah 2/3 negara anggota juga melaporkan bahwa produk perikanan mereka dapat ditelusuri (ketelusuran) sumber produknya.

Keenam, sebagian besar negara anggota melaporkan permasalahan keterbatasan anggaran dan sumberdaya manusia dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, negara anggota FAO membutuhkan bantuan keuangan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, peningkatan kesadaran masyarakat serta perbaikan penelitian dan data statistik.

Aktivitas Pembongkaran di PPS Bitung
Aktivitas Pembongkaran di PPS Bitung

Kapal Cumi
Kapal Cumi

Proyeksi Target Hingga Tahun 2030

Produksi perikanan global tahun 2018 mencapai 179 juta ton, dan diprediksi akan terus meningkat hingga 204 juta tahun tahun 2030.

Produksi perikanan budidaya diproyeksi 109 juta ton pada tahun 2030 atau meningkat 32 % dari tahun 2018 yang hanya 26 juta ton. Negara-negara Asia tetap mendominasi produksi perikanan budidaya hingga  89 % dari produksi perikanan global. Sedangkan berdasarkan komoditasnya, sebesar 62 % berasal dari  budidaya perikanan air tawar, seperti carp dan Pangas catfish.

Perikanan Budidaya di Danau Batur Bali
Perikanan Budidaya di Danau Batur Bali

Produksi perikanan tangkap diproyeksikan tetap stabil sekitar 96 juta ton per tahun hingga tahun 2020. Hal ini sebagai dampak meningkatnya hasil tangkapan dari perairan stok yang sudah pulih, pertumbuhan produksi perikanan tangkap dari negara yang perairannya masih berstatus underfished dan optimalisasi pemanfaatan hasil tangkapan pada pasca panen.

Harga ikan diproyeksikan akan meningkat hingga tahun 2030. Sejumlah faktor yang menyebabkan peningkatan harga ikan adalah peningkatan pendapatan, pertumbuhan penduduk dan meningkatnya harga daging merah. Selain itu juga akibat tidak adaya peningkatan produksi dari perikanan tangkap, pertumbuhan perikanan budidaya setiap tahunnya yang melambat dan peningkatan biaya produksi.

Pada tahun 2030,  ikan yang kosumsi manusia mencapai 89 % sedankan sisanya untuk industri non pangan. Tingkat kosumsi ikan diproyeksikan mencapai 21,5 kg pada tahun 2030, naik sejumlah 20,5 kg dari tahun 2018. Peningkatan kosumsi ikan sebagai dampak  peningkatan pendapatan, diversifikasi produk perikanan, perbaikan produk pasca panen dan  perubahan gaya hidup sehat dengan mengkosumsi ikan.

Pada tahun 2030 diproyeksi sekitar 36 % ikan diekspor. Secara keseluruhan rata-rata pertumbuhan eksport diproyeksikan turun 2 % pada tahun 2007 – 2018 menjadi 1 % pada periode tahun 2019-2030. Hal ini disebabkan oleh menurunnya produksi perikanan,  tingginya permintaan pasar lokal atau domestik dan peningkatatan harga ikan

Aktivitas Pendaratan Ikan di PPN Ternate
Aktivitas Pendaratan Ikan di PPN Ternate

 

——————————

Ketika FAO menyusun SOFIA dan diluncurkan tahun ini, kita dihadapkan pada permasalahan pandemi Covid 19  yang telah memberikan dampak pada sistem rantai perikanan secara global, terkait hal ini dapat dibaca pada artikel yang berjudul ” Dampak Pandemi Covid 19 Pada Usaha Perikanab Tangkap Global “.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here